Pemuda
itu hanya termangu diam disamping pohon kurma ditepi padang pasir di
kota madinah. Betapa hatinya tergoncang manakala dia tahu bahwa wanita
itu akan dipersunting oleh sahabat seniornya sendiri yang bernama Abu
Bakar. Seorang sahabat yang tidak diragukan lagi kesetiaannya pada
rasul. Sahabat senior yang menemani rasul saat berhijrah dan pria soleh
itu pula yang menyumbangkan seluruh hartanya untuk Islam ini tanpa sisa
sedikitpun.
Ia mencoba untuk tetap
tersenyum. Sejak dari dulu seharusnya ia sadar harus menepis apa yang
dirasakannya itu, cukuplah hanya sebatas kagum kepada wanita ahli surga
yang juga putri dari orang yang sangat dikasihinya. Akhirnya ia putuskan
untuk menyimpan didalam hatinya saja. Cukup dia dan Allah yang tahu.
Apalagi sekarang sudah ada Abu Bakar, sekarangpun ia bisa tenang karena
ada lelaki yang lebih siap dan lebih baik darinya yang meminang bidadari
dunia itu.
Dialah Ali Bin Abi Thalib. Seorang pemuda yang cerdas dan bahkan Nabi pun memuji karena kecerdasannya itu sendiri. Butiran pasir terus beterbangan dengan indahnya dipadang pasir tempat pemuda itu merenung. Tak berapa lama kemudian, tersiarlah kabar bahwa lamaran Abu Bakar ditolak oleh rasul. Entah seperti ada setetes embun yang menyejukan hatinya. Ternyata harapan itu masih ada. Maka dia mencoba merekatkan kembali puing-puing harapannya kembali untuk membangun nyali keberanian dan semangatnya lagi untuk bertemu sang rasul. Ia pikir setiap manusia memang layak mendapatkan kesempatan kedua.
Tapi ternyata ia terlambat. Ada seorang sahabat senior kembali yang mendahului geraknya untuk meminang wanita solehah itu. Dia bernama Umar Bin Khatab. Ali menelan kepahitan sekali lagi. “Apa yang kurang dari Umar?” Ia adalah lelaki yang sangat kuat imannya bahkan sampai setan yang bertugas menggodanya pun sangat takut dengannya. “Mungkin dialah orang yang dicari rasul”, kata hatinya. Sebagai seorang manusia, ia mencoba merasionalisasikan pikirannya kembali. Ya, sebenarnya itu dia lakukan agar ia bisa tenang didalam hatinya untuk tetap dapat berdzikir ikhlas kepada Allah. Tidak ada alasan untuk menolak lelaki kuat seperti diri Umar Bin Khatab.
Tapi lagi-lagi Allah berkehendak lain. Lamaran Umar pun ditolak oleh rasul. Entah si cerdas itu setengah percaya atau setengah tidak, tapi yang pasti itulah yang terjadi. Siapakah sebenarnya yang rasul cari. Apakah keimanan sang Abu Bakar dan Umar Bin Khatab beserta kekayaannya masih belum cukup bagi rasul?
Didalam kamarnya, wanita ahli syurga itu masih bisa tenang dan berpikir. Fatimah belum mengerti maksud ayahnya. Sudah dua lelaki soleh yang ditolak. Fatimah tidak tahu apakah ayahnya dapat membaca isi hatinya atau tidak. Tetapi sebenarnya Fatimah saat ini pun memendam decak-decak kagumnya kepada seorang pemuda soleh diluar sana. Seorang pemuda yang sangat luar biasa keimanannya, yang lidahnya terus dibasahi oleh dzikir-dzikir cinta kepada Allah. Saat ini, seandainya dia mau, mungkin ia dapat dengan mudah mengisahkan perasaannya pada ayahnya yang sangat menyayanginya. Namun karena kesucian dirinya, sepenuh jiwanya berjihad menahan perasaannya kepada pemuda yang bernama Ali Bin Abi Thalib itu.
Disekitar padang pasir sana masih sering terlihat Ali yang sedang merenung, namun Ali tampaknya kini sudah lebih kokoh. Walaupun ia sudah tahu bahwa Umar kini mencoba meminang diri Fatimah. Baginya, kecintaan kepada seorang insan tidak akan bisa mengalahkan rasa cinta murninya kepada Allah. Karena Allah mudah sekali membolak-balikan hati seorang hambanya. Maka tak perlulah ia terlalu gusar, karena satu yang ia fahami. Bahwa kematian, rezeki dan pasangan hidup telah diputuskan sebelum ia lahir ke bumi ini oleh pencipta dirinya.
Tampak sekawanan pemuda Anshar itu tergopoh-gopoh menuju ketempat Ali berada. Raut wajah mereka tampak senang sekali seakan-akan ingin menyampaikan kabar gembira kepada Ali. Ali mengira bahwa mereka akan menyampaikan kabar gembira bahwa rasul telah menyambut seruan Umar Bin Khatab untuk mendampingi wanita itu. Kalaupun benar kabar itu, kini ia telah siap menerima kabar itu.
“Rasul menolak pinangan dari
Umar, Ali”, teman Ansharnya berkata kepada dirinya. “Ali, mungkin
engkaulah yang dinanti sang Rasul”, temannya kembali menegaskan. Ali
terdiam sejenak. Mungkin ia bisa senang saat ini, tapi ia masih
bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang dicari lelaki agung itu, apakah
benar dirinya. ”Ah tak mungkin”, keras hatinya. “Engkau adalah pemuda
yang soleh dan selalu menjaga dzikirmu kepada Allah, mungkin rasul
sangat menginginkanmu datang kepadanya”, temannya mencoba terus
mendorong.
Ada celah-celah langit hatinya yang bersinar kembali, setelah awan ketidakyakinan menutupi relung jiwanya. “Inikah kesempatan keduaku?” Ali mencoba memantapkan keyakinannya kembali. Saat itu pula Ali belum yakin apakah ia akan memenuhi celah langit didalam hatinya. Namun berkat dorongan teman-teman dan kemantapan hatinya akhirnya ia temui lelaki agung itu, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasalam.
Suasana rumah rasul hening untuk sesaat. Mungkin saat itulah yang paling mendebarkan didalam hidup Ali Bin Abi Thalib, seorang pemuda yang kini mencoba meminang diri Fatimah Az Zahra. Fatimah pun dengan segenap ketegangannya berada dibalik tabir kamarnya mendengar secara sayup-sayup percakapan mereka berdua. Tiba-tiba mulut rasul mulai mengeluarkan kata-kata “Ahlan wa Sahlan wahai Ali”. Kata-katanya cukup sampai disana. Tidak kurang dan tidak lebih. Apakah itu pertanda Iya atau Tidak itu masih belum jelas. Makna kalimat yang begitu luas seperti lautan tadi membuat Ali disana dan Fatimah didalam kamarnya tenggelam pada kebingungan.
Lambat-laun akhirnya Ali
faham maksud dari sang rasul. Namun kini ia sampai pada pertanyaaan yang
sangat menohok tenggorokannya. “Apakah mahar yang kau bisa berikan Ali
kepada anakku Fatimah?”. Suasana menjadi hening kembali. ia coba
merangkai-rangkai alasan untuk tidak menjawabnya secara langsung.
Meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!
Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa
cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Akhirnya dia hanya bisa berkata
bahwa hanya baju perang tua kesayangannya lah yang dapat ia jadikan
mahar untuk meminang wanita yang dikaguminya itu. Dan dengan ekspresi
senangnya, rasul pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh Ali.
Dan akhirnya dua tali
kekaguman yang tak tersampaikan itupun mampu terlilit kuat dan rapi.
Allah lah yang melilitkan ikatan cinta suci itu. Inilah kisah kesabaran
dan ketegaran Ali, kawan. Kisah ini terus menjadi inspirasi untuk setiap
insan beriman yang ingin menjaga hatinya. Betapapun kamu kagum kepada
seseorang, Allah pasti tahu itu. Maka izinkanlah hatimu itu untuk
menjaganya kawan.
Copy-paste by Mr. Suyadi ATB MANPS From:
http://situslakalaka.blogspot.com/2011/08/akhir-dari-2-kagum-yang-tak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar