Jangan Tersenyum kepada Orang Buta
Oleh Eko Prasetyo
Dua kalimat tersebut saya simak dari seorang dai terkenal di forum pengajian. Dua kalimat tersebut dilontarkan sebagai perumpamaan tentang hal yang mubazir. Saya lebih menganggapnya sebuah pesan mendalam. Yakni, konsisten.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2008), konsisten masuk dalam kelas kata sifat. Ada dua pengertian. 1. tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek. 2. selaras; sesuai: perbuatan hendaknya -- dng ucapan.
Berkaitan dengan konsisten, negeri yang ”katanya” gemah ripah lohjinawi ini mengalami krisis moral yang begitu akut. Salah satunya, tumbuh suburnya sifat tidak konsisten alias inkonsisten. Contohnya cukup banyak. Sebut saja, kasus Gayus Halomoan Tambunan. Pegawai golongan III A itu terseret kasus makelar kasus (markus) di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Negara dirugikan puluhan miliar rupiah. Diinkasi, kasus semacam ini sudah ”membudaya” di instansi tersebut. Ironis!
Saya sangat prihatin sekaligus geram dengan mencuatnya kasus itu, yang diekspos besar-besaran oleh media. Slogan ”Orang Bijak Taat Pajak” seakan-akan dikebiri oleh koruptor macam Gayus. Kegeraman itu mungkin juga dirasakan oleh banyak wajib pajak lainnya. Wajar jika kasus tersebut memunculkan plesetan ”Orang Pajak Makan Pajak.”
Tak bisa dimungkiri, kasus Gayus bisa jadi hanya ”kelas teri”. Seorang jurnalis senior dan pengamat ekonomi bahkan pernah mengatakan bahwa mungkin saja ada kasus semacam Gayus yang dapat dikatakan ”kelas hiu”, bahkan ”kelas paus”.
Kasus Gayus sebenarnya merupakan tamparan telak bagi pemerintah. Betapa tidak, pemerintah bisa disebut gagal dalam mengemban amanah rakyat: konsisten. Baik konsisten dengan janji saat kampanye pilpres maupun janji memberantas habis korupsi.
Konsisten seolah menjadi endemi di negeri yang ”katanya” kaya dan subur makmur ini. Ketika banyak orang berlomba-lomba untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, mereka menawarkan aroma sedap kampanye: konsisten dalam memegang komitmen.
Sayang, tak ada hitam di atas putih alias tak ada surat kontrak janji. Andai itu ada dan diberlakukan, kita sebagai rakyat tentu bisa menagih konsisten yang pernah ditawarkan saat kampanye, baik pilpres maupun pilkada. Yang ada saat ini adalah banyak pemimpin berusaha ngeles alias mencari-cari alasan untuk menjaga image.
Sebuah pelajaran mungkin bisa diambil dari kisah khalifah Umar bin Khattab. Dia dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan mau turba (turun ke bawah) untuk melihat kondisi riil rakyatnya.
Dalam suatu kisah mahsyur, Umar diceritakan pernah memanggul gandum untuk diberikan kepada wanita yang anaknya kelaparan. Wanita itu memasak batu dalam kuali untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar yang amat sangat. Kejadian tersebut diketahui Umar.
Hati kecil Umar sebagai pemimpin gerimis melihat pemandangan itu. Dia bersikap gentle dan konsisten dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Dia berjalan puluhan kilometer menuju rumahnya tanpa diketahui pengawalnya. Dia merasa telah berkhianat jika tak membantu wanita dan anaknya yang lapar tadi. Maka, Umar memanggul karung berisi gandum untuk diberikan kepada wanita tadi.
Ketika melihat wanita tadi memasak gandum dan melihat anaknya makan dengan lahap, Umar sedih dan terharu. Dia berkata bahwa tugas sebagai pemimpin sangat berat. Sebab, seorang pemimpin harus tahu dan peka tentang apa yang dialami oleh rakyatnya.
Maka, ketika Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khattab, hendak dicalonkan sebagai pemimpin, Umar dengan tegas menolaknya. ”Cukup satu Umar saja dalam keluarga ini yang menjadi pemimpin. Sebab, tugas pemimpin itu sangatlah berat,” ucap Umar.
Peristiwa tersebut memang telah terjadi ratusan abad yang lampau. Namun, pengalaman Umar itu hendaknya bisa dijadikan cermin tentang pentingnya menjaga sikap konsisten. Terutama, konsisten dengan tugas dan tanggung jawab.
Kasus Gayus bisa dijadikan pelajaran untuk anak didik kita. Setidaknya, kita bisa meramu konsisten sebagai obat mujarab guna menjauhkan diri dari penyakit kronis berbahaya yang bernama korupsi.
Saya berangan-angan, kalau saja pemimpin kita mau bersikap konsisten, tentu kasus Bank Century, kasus Gayus, dan kasus serupa lain tidak akan menjadi benang kusut yang sulit diurai.
Maka, benarlah pesan yang terkandung kalimat jangan tersenyum kepada orang buta dan jangan berbisik kepada orang tuli. Rupanya, kita secara tidak sadar (atau sadar?) kerap melakukan dua hal tadi. Bahaya!
Copy-paste by Mr. Suyadi ATB MANPS From:
http://eramuslim.com/oase-iman/eko-prasetyo-jangan-tersenyum-kepada-orang-buta.htm
http://eramuslim.com/oase-iman/eko-prasetyo-jangan-tersenyum-kepada-orang-buta.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar