||| Assalamualaikum Wr, Wb. ||| Selamat datang ke blog saya ini ||| Semoga ada manfaat yang dapat anda peroleh |||

Kamis, 18 Maret 2010

Untuk Para Gadis



Anda sebagai seorang gadis dalam ruang lingkup keluarga, dalam bingkai rumah tangga dan dalam banguan istana pernikahan menempati posisi strtegis, memegang peran sentral dan menggengam jabatan penting, sekalipun bukan yang paling, hal itu karena Anda sebagai seorang gadis adalah calon ratu dalam bangunan rumah baru atau calon permaisuri dalam istana baru. Benar, Anda adalah istri masa datang yang menjadi separuh nyawa bagi ikatan sebuah perkawinan, yang menjadi setengah jiwa bagi talian pernikahan. Dan Anda adalah ibu masa depan dalam sebuah bangunan keluarga, pemegang kendali bagi segala urusan anak-anaknya.

Melihat dan mempertimbangkan posisimu yang strategis dan peranmu yang utama, maka mempersiapkan gadis sepertimu sebagai seorang ratu dan permaisuri dalam istana rumah tangga oleh pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan merupakan perkara dharuri,urgen dan penting. Di sisi yang lain upayamu sebagai seorang gadis muslimah dalam rangka menempa dan mempersiapkan diri untuk membangun rumah baru di mana kamu akan menjadi belahan nyawa dan setengah jiwanya merupakan perkara mendasar yang tidak ditawar.

Satu kenyataan yang tidak dipungkiri bahwa seorang istri atau ibu, dan dia sebelumnya adalah seorang gadis, merupakan jangkar penyeimbang bagi rumah tangga, ibarat kapal berlayar yang ada saatnya untuk istirahat melepaskan penat, dan pada sat itu jangkar mengambil perannya mengistirahatkan kapal sekaligus menyeimbangkan penumpangnya, demikianlah istri atau ibu dalam bangunan rumah tangga, rumah tangga berjalan, kadang lamban, kadang cepat dan kadang ngebut, tetapi di sela-sela semua itu ada saat-saat di mana rumah harus istirahat, suami kepada istri dan anak-anak kepada ibu, dan istri atau ibu itu adalah kamu, mungkin saat ini belum tetapi satu hari nanti tanpa kamu bisa berlari.

Rumah tangga sebagai istri dan ibu

Sebuah masa depan di mana Anda sangat sulit kalau bukan mustahil untuk menolaknya, sulit bagi Anda sebagai gadis untuk ngeles, menghindar darinya. Silakan Anda sebagai seorang gadis terbang sejauh-jauhnya, tetapi suatu saat nanti Anda akan tetap memasuki pintu rumah tangga. Silakan Anda sebagai gadis menunda-nunda dan mengulur-ulur demi mempertahankan status sebagai gadis -biasanya menunda atau mengulur dalam kamus seorang gadis bukan karena disengaja, akan tetapi karena belum atau tidak laku- tetapi suatu hari nanti benang pernikahan akan mengikat kedua tangan dan kedua kakimu.

Anda bisa saja berdalih dengan dalil yang sering didegung-degungkan oleh sebagian wanita yang memproklamirkan diri sebagai aktifis perempuan pembela hak-hak perempuan dan aktifis emansipasi, “Saya sudah berbahagia sekalipun tidak menikah, jadi untuk apa saya menikah?” Saya berkata kepada siapa yang mengucapkan kata-kata di atas atau yang sepetinya, “Anda tidak menikah karena telah merasa benar-benar bahagia atau karena tidak laku?” Saya kok meraba yang kedua. Mudah-mudahan benar rabaan saya.

Saya katakan kepadamu wahai gadis, jangan terkecoh, jangan tertipu dan jangan keblinger dengan kata-kata semacam ini, karena ia hanya fatamorgana yang mengelabuhi, kebahagiaannya adalah kebahagiaan semu alias palsu belaka, bukan kebahagiaan sejati. Kalau ia memang kebahagiaan sebenarnya maka alangkah sengsaranya para wanita yang menikah yang mana jumlah mereka tidak berbanding dengan wanita yang tidak menikah, benar bukan? Kalau kata-kata itu benar niscaya di dunia ini tidak ada pernikahan. Orang yang mengucapkannya memang tidak menikah sehingga dia tidak merasakan kebahagiaan pernikahan.

Saya berani bertaruh denganmu wahai gadis, bertaruh apa ya? Janganlah, bertaruh kan tidak boleh. Maksud saya, saya benar-benar yakin bahwa kebahagiaanmu sebagai seorang gadis, sekalipun kamu berpendidikan setinggi langit, berkedudukan paling terhormat di jagat raya, berharta melebihi Qarun, kebahagiaanmu terwujud manakala kamu telah resmi berubah status menjadi istri fulan dan kebahagiaan ini akan lebih sempurna manakala statusmu meningkat menjadi Ummi fulan.

Katakan dengan jujur, benarkan apa yang saya katakan? Benar, kalau tidak benar buat apa banyak para gadis dalam usiamu ngider, bolak-balik ngalor-ngidul untuk mencari teman spesial –saya hanya mengatakan kenyataan bukan membenarkan- dan kalau sudah dapat maka keduanya runtang-runtung berdua ke sana ke mari? Karena di sana kamu menemukan sebuah kebahagiaan, kebahagiaan yang akan membuat hatimu berbunga-bunga mengalahkan bunga taman Monas manakala gacoanmu itu datang menyodorkan tawaran resmi untuk menjadikanmu sebagai belahan jiwanya.

Semua itu membenarkan apa yang saya katakan, bahwa terminal akhir kehidupan seorang gadis sepertimu di mana di sanalah kebahagiaan baginya secara utuh dan sempurna terealisasikan melalui gerbang pernikahan ketika dia berani memberikan kegadisannya demi harapan besar berupa kebahagiaan.

Karena suatu saat Anda pasti akan menghadapi hal itu maka wajar kalau Anda patut mempersiapkan diri dari sekarang, mempersiapkan diri sebagai istri kemudian sebagai ibu, saya mengucapkan untukmu, “Selamat bersiap-siap.” Wassalam.
(Izzudin Karimi) 

Copy-paste By Mr. Suyadi ATB MANPS from:
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatsakinah&id=175

Kamis, 11 Maret 2010

Macam-macam Kesabaran

Allah ta’ala telah memberikan kebaikan di setiap kondisi yang dialami oleh para hamba-Nya yang beriman, sehingga mereka senantiasa berada dalam rengkuhan nikmat Allah ta’ala.
Mereka mengalami segala kejadian yang menyenangkan dan menyedihkan, namun segala takdir yang ditetapkan Allah bagi mereka merupakan barang perniagaan yang memberikan untung yang teramat besar.

Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Segala perkara yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila kebaikan dialaminya, maka ia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila keburukan menimpanya, dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.”[1]
Hadits ini mencakup seluruh takdir-Nya yang ditetapkan bagi para hamba-Nya yang beriman. Dan segala takdir itu akan bernilai kebaikan, apabila sang hamba bersabar terhadap takdir Allah yang tidak menyenangkan dan bersyukur atas takdir Allah yang disukainya.
Bahkan, hal ini turut tercakup ke dalam kategori keimanan sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ (٥)
“Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5).

Apabila seorang hamba memperhatikan seluruh ajaran agama ini, maka dia akan mengetahui bahwa segenap ajaran agama berpulang pada kedua hal tadi, yaitu kesabaran dan rasa syukur. Hal itu dikarenakan kesabaran terbagi menjadi tiga jenis sebagaimana berikut[2].

  1. Pertama: Sabar dalam melakukan ketaatan sampai seorang melaksanakannya. Hal ini dikarenakan seorang hamba hampir dapat dipastikan tidak dapat melakukan segala perkara yang diperintahkan kepadanya kecuali setelah bersabar, berusaha keras untuk bersabar dan berjihad melawan segenap musuh, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Kesabaran jenis inilah yang mempengaruhi penunaian seorang hamba terhadap segala perkara yang diwajibkan dan dianjurkan kepada dirinya. 
  2. Kedua: Kesabaran terhadap segala perkara yang terlarang sehingga dirinya tidak mengerjakan berbagai larangan tersebut. Sesungguhnya nafsu, tipu daya setan, dan teman sejawat yang buruk akan senantiasa memerintahkan dan menyeret seseorang untuk berbuat kemaksiatan. Oleh karenanya, kekuatan kesabaran jenis ini mempengaruhi tindakan seorang hamba dalam meninggalkan segenap kemaksiatan. Sebagian ulama salaf[3] mengatakan,
    أَعْمَالُ الْبِرِّ يَفْعَلُهَا الْبَرُّ وَ الْفَاجِرُ, وَ لاَ يَقْدِرُ عَلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي إِلاَّ صِدِّيْقٌ


    “Setiap orang yang baik maupun yang fajir (pelaku kemaksiatan) turut melakukan kebaikan. Namun hanya orang yang bertitel shiddiq yang mampu meninggalkan seluruh perkara maksiat.”
     
  3. Ketiga: Kesabaran terhadap musibah yang menimpanya. Musibah ini terbagi menjadi dua,

    Jenis pertama
    :
    Jenis musibah yang tidak dipengaruhi oleh turut campur tangan makhluk seperti penyakit dan musibah lain yang praktis tidak turut dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Seorang hamba mudah bersabar dalam menghadapi musibah jenis ini.

    Hal itu dikarenakan seorang hamba mengakui bahwasanya musibah jenis ini termasuk ke dalam takdir Allah yang tidak dapat ditentang olehnya, (sehingga) manusia tidak mampu turut campur dalam permasalahan ini. (Dalam hal ini), sang hamba hanya mampu bersabar, baik itu terpaksa maupun sukarela.

    Apabila Allah membukakan pintu untuk merenungi berbagai faedah, kenikmatan dan kelembutan Allah yang diperolehnya dari musibah tersebut, maka dirinya pun berpindah dari derajat bersabar atas musibah yang menimpanya menuju derajat bersyukur dan ridla atas musibah tersebut. Dengan seketika, musibah tadi berubah menjadi nikmat yang dirasakannya, sehingga lisan dan hatinya senantiasa berkata,
    رَبِّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Wahai Rabb-ku, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu serta memperbaiki segala peribadatanku kepada-Mu.”[4]
Kesabaran jenis ini bergantung kepada kekuatan cinta seorang hamba kepada Allah ta’ala, (sehingga meskipun hamba tertimpa musibah, dia justru dapat bersabar karena kekuatan cinta-Nya kepada Allah ta’ala). Hal ini (kesabaran seorang terhadap perbuatan yang tidak menyenangkan dari seorang yang dicintainya-pent) dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana perkataan sebagian penyair[5] yang memanggil sang kekasih yang telah menyakitinya. Dia mengatakan,
لَئِنْ سَاءَنِي أَنْ نِلْتَنِي بِمَسَاءَةٍ
لَقَدْ سَرَّنِي أَنِّي خَطَرْتُ بِبَالِكَ
Meskipun (sang kekasih) telah menyakitiku
Namun kenangan di Balika (bersama kekasih) yang terlintas di benak, sungguh telah menyenangkan hatiku
Jenis keempat [kedua],[6] adalah musibah berupa tindakan manusia yang menganggu harta, kehormatan dan jiwa seorang.
Bersabar terhadap musibah jenis ini sangat sulit dilakukan, karena jiwa manusia akan senantiasa mengingat pihak yang telah menyakitinya. Begitupula jiwa (cenderung) enggan dikalahkan sehingga dia senantiasa berupaya untuk menuntut balas. Oleh karenanya, hanya para nabi dan orang-orang yang bertitel shiddiq saja yang mampu bersabar terhadap musibah jenis ini.
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila disakiti, beliau hanya mengucapkan,
يَرْحَمُ اللَّهُ مُوسَى لَقَدْ أُوذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh beliau telah disakiti (oleh kaumnya) dengan (musibah) yang lebih daripada (ujian yang saya alami ini), namun beliau dapat bersabar.”[7]
Salah sorang nabi pun (bersabar dan hanya) berkata ketika dipukul oleh kaumnya,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ya Allah ampunilah kaumku, karena sungguh mereka tidak mengetahui.”[8]
Telah diriwayatkan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah mengalami ujian yang dialami oleh nabi tadi dan beliau mengucapkan perkataan yang serupa.[9]
(Dengan demikian), ucapan do’a tersebut mengumpulkan tiga perkara, yaitu pemaafan (dari pihak yang disakiti) terhadap tindakan mereka, permintaan ampun kepada Allah untuk mereka dan pengajuan dispensasi (kepada Allah) dikarenakan ketidaktahuan mereka.
(Apabila seorang melakukannya), maka kesabaran jenis ini akan menghasilkan pertolongan, petunjuk, kebahagiaan, keamanan dan kekuatan serta mempertebal rasa cinta Allah dan manusia terhadap dirinya juga menambah keilmuan orang tersebut.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
‘Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah: 24).
Sehingga, kepemimpinan dalam agama dapat diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan (keimanan)[10]. Apabila kekuatan keyakinan dan keimanan mengiringi kesabaran ini, maka seorang hamba akan menaiki berbagai tingkatan kebahagiaan dengan karunia Alah ta’ala. Dan itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Oleh karenanya Allah berfirman,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushshilaat: 34-35).
-bersambung insya Allah-
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau-
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Muslim (2999) dari Shuhaib. [2] Lihat perkataan penulis dalam Majmu’ al Fatawa (10/574-577, 14/304-306).
[3] Beliau adalah Sahl at Tusturi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al Hilyah (10/211).
[4] Do’a ini merupakan salah satu do’a yang berasal dari nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad (5/244, 247), Abu Dawud (1522) dan An Nasaa-i (3/53) dari sahabat Mu’adz bin Jabal.
[5] Dia adalah Ibnu Ad Daminah. Bait sya’ir di atas merupakan qashidah miliknya yang masyhur. Sebagian qashidah tersebut terdapat dalam Hamasah Abi Tamam (2/62-63) dan redaksi lengkapnya terdapat dalam Diwan beliau (halaman 13-18).
Qashidah di atas terdapat dalam 12 bait sya’ir pada kitab Al Fushush karya Sha’id (1/67-70) dan juga terdapat dalam seluruh kitab rujukan sya’ir pada qafiyah (rima) huruf kaf yang berharakat kasrah.
[6] Demikianlah yang tertera dalam kitab asli. Namun, yang lebih tepat adalah musibah di atas adalah jenis kedua dari dua jenis musibah yang disebutkan oleh penulis.
[7] HR. Bukhari (3150, 3405 dan berbagai tempat lainnya), Muslim (1062) dari sahabat Ibnu Mas’ud.
[8] HR. Bukhari (3477 dan 6929), Muslim (1792) dari sahabat Ibnu Mas’ud.
[9] HR. Ath Thabarani dari Sahl bin Sa’ad sebagaimana terdapat dalam Majma az Zawaa-id (6/117). Al Haitsami mengatakan, “Seluruh rijal hadits ini merupakan rijal kitab Shahih.”
[10] Lihat Majmu’ al Fatawa (10/39).

copy-paste by mr. suyadi atb manps from:
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-1-macam-macam-kesabaran.html